Cerpen - Fiksi
Lelaki separuh baya itu, kembali mendatangiku di
pagi buta nan dingin.
Seperti pagi-pagi
sebelumnya, ia sudah terbangun paling pagi, disaat
seluruh keluarga – istri dan anak-anaknya – masih tertidur pulas. Aku tau, ia akan segera
mendatangi kamarku
yang letaknya ada di belakang rumah mereka, terpisah dari rumah utama. Dari langkah
kakinya yang terdengar berjalan di seret itu, terdengar ia menghampiriku, membuka pintu kamarku
pelan-pelan, memandangku penuh sayang, dan segera matanya akan menangkap tubuhku
yang masih meringkuk kedinginan,
kemudian ia memeluk tubuhku erat, mencium dan mengendus sekejap kepalaku, dan
segera saja kehangatanpun merasuki tubuhku meski
kantuk masih mengelayut. “Wes isuk saiki, yo tangi ”, ujarnya terdengar parau
membangunkanku dengan “caranya” itu
di setiap pagi
buta.
Melihat dari sikapnya, aku tau ia sangat menyanyangiku, tetapi akupun
kadang merasa jenuh dan cape juga melayaninya di setiap pagi hari. Aku sebenarnya sayang juga padanya karena ialah satu-satunya orang di
rumah ini yang paling menyayangiku, meski anak dan istrinya berlaku baik juga padaku, tetapi rasa sayang si
lelaki separuh baya itu melebihi seluruh keluarga ini.
Pernah di suatu
pagi buta, ketika si lelaki separuh baya itu sedang mendekapku, terdengar suara istrinya dari dalam rumah
memanggil-manggil si lelaki separuh baya itu, “Pak ... pak, kamu dimana ? tuh si ade nangis terus, tolong
di jagain dulu, aku mau ke pasar!”,
teriak istrinya sambil mencari-cari si lelaki separuh baya itu. Mendengar sang istri memanggilnya,
dekapannya kepadaku segera ia lepaskan, kemudian ia segera berlalu
meninggalkanku yang baru saja akan merasakan kehangatannya. Tubuhku yang mulai menghangat itupun segera ia tinggalkan begitu saja. Aku hanya menghela napas
berat. Dan akupun harus segera bangun dan melakukan tugasku di setiap pagi hari
buta.
Perlakuannya terhadapku membuatku hanya bisa terdiam pasrah. Ada rasa aman dengan
semua yang ia buat padaku, meski sejatinya diusiaku yang cukup dewasa ini aku seharusnya
sudah memiliki pasangan hidup atau setidaknya kekasih. Tetapi hingga detik ini
aku masih sendiri, tak banyak hal yang dapat aku perbuat dengan semuanya ini,
aku hanya bisa nrimo. Memang hidupku ini
sangat tergantung dengan keluarga ini, terutama tergantung dengan si lelaki separuh baya itu.
Suatu hari, aku di pertemukan dengan perempuan muda nan
cantik oleh si lelaki separuh baya itu. Ia membawa perempuan itu padaku, katanya sudah saatnya aku
memiliki pasangan, keluarga dan keturunan, aku terharu memandang si lelaki separuh baya itu ketika ia
mempertemukanku dengan perempuan calon pasangan hidupku itu, ah, ternyata ia sangat
peduli padaku batinku.
"Kalian berpikir apa ?", Aku memang bukan betina atau
ayam petelur seperti yang kalian pikirkan. Aku jelas-jelas pejantan tangguh alias jagoan
tulen – bukan laki-laki yang setengah-setengah seperti si prapto kawan istrinya
si lelaki separuh baya itu, yang jika malam hari namanya berganti menjadi si pretty itu,
meski aku ini jago tulen tetapi hatiku sudah tertambat pada hati si lelaki separuh baya itu, entahlah apa namanya ini,
tetapi rasa sayangku kepada si lelaki separuh baya itupun tak menghalangi rasa cintaku pada
pasangan baruku.
Setelah aku resmi
memiliki pasangan hidup, aku dan pasanganku masih tinggal bersama-sama keluarga
si lelaki separuh baya itu, si lelaki separuh baya itu masih tetap setia pula mendatangiku di pagi buta. Dan biasanya ketika si lelaki separuh baya itu
datang, pasanganku itu masih tertidur pulas. Tetapi, belakangan
tingkah si lelaki separuh baya itu menggangu pasangan hidupku, jika sudah demikian pasanganku
itu akan marah padanya, dan si lelaki separuh baya itu akan segera pergi meninggalkan kami.
Pernah suatu hari
ketika si lelaki separuh baya itu duduk-duduk di belakang rumah dekat kamarku, tanpa banyak
cincong pasanganku langsung memasang wajah bringas layaknya ayam betina yang sedang
mengeram dan takut telurnya di ambil. Dan si lelaki dengan sangat pengertian
akan beringsut pergi meninggalkan kami – aku, pasanganku dan calon jabang bayiku.
Setelah beberapa
tahun berlalu, aku sekarang telah memiliki beberapa anak – ada enam anak – dan merekapun mulai beranjak besar – tanggung
– begitu biasa orang bilang. Tetapi kebahagiaan keluargaku mulai terusik, semua
berawal dari krisis keuangan yang dialami keluarga si lelaki separuh baya itu. Tetapi, aku sekeluarga bersyukur
masih bisa bertahan hidup di rumah si lelaki separuh baya itu, dan itu karena kebaikan hati si
lelaki separuh baya itu terhadap kami. Meski ekonomi mereka mulai morat-marit, aku
dan keluargaku
masih di pertahankan oleh mereka untuk tetap hidup bersama-sama mereka, di
lingkungan mereka tinggal.
Suatu pagi aku
mendengar bisik-bisik si lelaki separuh baya itu dengan istrinya,”Jangan bu, kasian mereka”, kata si lelaki separuh baya itu, “Tapi, bagaimana
lagi pak, ini terpaksa” kata istri
si lelaki. Dan ketika pagi beringsut siang, salah satu
anak kami di bawa oleh istri si
lelaki separuh baya itu entah kemana, dan sejak saat itu aku tak pernah bertemu dengan anakku nomor satu
itu.
Sejak mundurnya
daya beli keluarga si lelaki separuh baya itu, tanpa pernah aku tau mau di bawa kemana, satu-persatu anakku menghilang tanpa jejak,
hanya bisik-bisik mereka saja yang terdengar, “Sudahlah iklaskan saja, habis
mau bagaimana lagi kita pak, memangnya kita mau lapor pak RT”, bisik si istri. Mendengar semua itu akupun tak
bisa berbuat apa-apa, hanya rasa pilu yang berusaha kupendam tanpa banyak
berbuat.
Tragis dari
keterpurukan keuangan keluarga ini, akhirnya memporak-porandakan keluargaku.
Anak-anakku satu persatu hilang tanpa jejak. Aku jadi teringat dengan kasus perdagangan manusia - trafficking - yang sering mereka lihat di tipi, jangan-jangan anak-anakku mengalaminya hal itu pikirku galau. Dan hari ini, ketika aku terbangun, aku menemukan pasangan hidupkupun telah raib entah kemana. Aku tak mendapatkan jawaban yang berarti dari rasa tanda tanya besar di kepalaku. Hanya
si lelaki separuh baya itu saja yang berusaha menenangkanku.
Siang itu, aku
melihat seluruh keluarga si lelaki separuh baya itu – ia, istri dan anak-anaknya –
sedang berkumpul di ruang makan. Mereka terlihat sedih. Aku, aaaakkku dimanakah
aku?, mengapa aku bisa melihat mereka sekeluarga, sementara aku tidak berada
di tengah-tengah mereka? dimanakah aku? Oh, aku bisa melihat semua, seluruh isi
rumah si lelaki setengah baya itu – dimanakah aku? sepertinya aku berada di
dimensi lain – dimensi yang aku sendiri tak mengerti – Aku hanya bisa memandang
semuanya. Tak ada kata yang bisa terucap.
Aku memandangi
satu-persatu wajah keluarga si lelaki separuh baya itu – Ia dengan
bibir terkatupnya yang rapat penuh duka, Istrinya dengan peluh yang kadang menetes dari
wajahnya, si sulung – seorang anak laki-laki remaja dengan wajah yang tertunduk tak berdaya,
seorang perempuan adik si sulung dengan jari tak henti mengetuk-ngetuk meja
perlahan, dan seorang anak perempuan kecil yang duduk di dekapan si ibu yang sesekali rewel – semua tampak murung, tak ada kebahagiaan.
Terdengar suara
sendok bertemu piring berdenting, satu-persatu mereka mulai mengambil nasi,
menuangkan sayuran dan mengambil lauk gulai ayam yang tampaknya sangat lezat
itu. Tetapi beberapa menit berlalu, tak ada yang mulai menyendokkan makanan
dari piringnya untuk di masukan ke mulut. “Ayo, makan”, suara si ibu terdengar
memerintah. Hening sesaat. Cuma helaan napas berat terdengar dari
mulut-mulut mereka.
Dengan berat hati mereka mulai makan
di siang itu, hanya si lelaki separuh baya saja yang tetap bergeming – tak menyentuh sedikitpun makanan yang
sudah tersaji di piringnya. “Pak, makanlah pak, sudah tiga hari ini kita tak makan, saatnya kita
untuk makan pak!” bisik si istri pada si lelaki separuh baya itu. Dan aku
melihat wajah si lelaki dengan mulut terkatup muram dan titik air mata di sudut
matanya, mematung tak berdaya. Tak lama, lamat-lamat aku mendengar suara
berbisik si lelaki setengah baya itu,“Jago, maafkan aku, cuma kamu yang tersisa”.
Jakarta, 12 Juni 2013
Neh, lagi belajar nulis fiksi euy :)
Salam,
Auntie Dazzling
Auntie Dazzling
ah..awalnya kukira kambing.. ternyata jago to... hehe...
BalasHapusIya emang tokoh si "Aku" disini itu di "Jago"
Hapuscie ... makan pake berat hati segala, gimana kalao pake berat badan ??? setuju ???
BalasHapusSetuju aja deh, terserah bang StumonK aza
Hapuswaaah ternyata mba jago bikin fiksi juga :D
BalasHapuslanjutkan mba hehe
Hihi yg jago itu tokoh si aku dlm cedita ini, kalo saya mah pere .. perempuan :)
HapusWhoaaaaa...
BalasHapusTernyata beginilah jeritan hati seekor ayam yang merasa terbuang dan kemudian tersingkir yah...hihihi...
Keren sekaliiiii...
sukaaaaa :)
Waaah ini sebenarnya bukan jeritan, tpi si aku bercerita tentang masa2 ia hidup bersama sang majikan dan sejatinya ia adalah seekor ayam jago
HapusSaya malah gak paham kalau yg dimaksud itu ayam jago, tadinya saya kirain mahluk astral gitu..
BalasHapusMksudnya tokoh utama si aku memang si ayam jago itu yg pd akhirnya hrs menjadi santapan keluarga si pemilik meski si jago adalah kesayangan si Lelaki.
HapusWah bener-bener berat ini, kelas tingkat tinggi..
HapusWah mas bro ini ada2 aja, gak berat kok, kan gak panggul :)
Hapuskisahnya membuyarkan anggapanku. Tak kirain memang terjadi tarffic king. Ternyata wanitanya meninggal ya inti dari cerita ini.
BalasHapusFiksinya ane kasih nilai 2 jempol
Tokohnya bukan seorang wanita tetapi seekor ayam jago yg meskipun kesayangan si Lelaki pd akhirnya hrs menjadi santapan kelurga karena kel.sang pemilik jatuh miskin.
HapusWaw! Ini sih ngetwist bgt.... Gue kira tadinya pembantu bahenol yg suka diusilin majikannya. Walo bnyak clue yg coba menguak tapi diplesetin sejadinya! Misal, masa' toh ayam diibaratin ama ayam juga? Pada kata mengeram, telor, seperti ayam betina. Itu kan clue yg terang2an...
BalasHapusTapi congrats ya, Bun! Ini aja udah keren dan gak nyangka akhirnya. Pasti nantinya smakin bagus dan bagus.
Koreksi dikit, Bun! Perhatiin penggunaan kata depan: diseret bukan di seret. Kata sandang: si Lelaki bukan si lelaki. Kata hubung: kehangatan pun bukan kehangatanpun.
Overallisgudjob! ;-)
You got it babe :)
HapusKamu beneerrr banget.
Thanks ea apresiasinya,& thanks juga koreksinya. Saya masih harus banyak belajar dan cerpen ini bahasa penulisannya masih gak oke.
Ur welcome, Mama! Udah oke kok penulisannya! Moga tambah oke aja... Yuk dilanjut ke fiksi berikutnya, 'coz u r ok! ;-)
Hapusfiksinya bener-bener gres. Ane yang gemar membaca novel belum pernah ketemu fiksi seperti ini.
BalasHapusTerimakasih apresiasinya, ini menambah semangat saya untuk menulis.
HapusGue kira ini cewek lo tokoh utamanya, aneh bener ya masa pria paruh baya dekap-dekapan ama cowok. wahaha
BalasHapusBagus si mbak, berbakat kayaknya kalo dikembangin
Ezra kamu salah, tokoh aku tuh si ayam jago bukan laki-laki sesungguhnya :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusendingnya bru tahu kalo nih ayam jago jdi hewan kesayangan.. cerita yg bagus !
BalasHapusTerimakasih telah membaca :D
Hapuswah .. endingnya sedih amat ya
BalasHapusSedih ya endingnya, rasanya harus buat yg endingnya bahagia
HapusMemang kalau gak dibaca benar artikelnya, gak bisa ngikuti alur ceritannya. Terima kasih sobat telah berbagi artikel
BalasHapusTerimakasih juga sudah membaca dan memberi komentar :)
Hapusdiawal aku tertipu tapi dietngah mulai curiga hehehe
BalasHapusHihi tapi akhirnya gak ketipu juga kan ? hehe
Hapus