Translator

Kamis, 13 Juni 2013

Lelaki Separuh Baya



Cerpen - Fiksi


Lelaki  separuh baya itu, kembali mendatangiku di pagi buta nan dingin.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, ia sudah terbangun paling pagi, disaat seluruh keluarga – istri dan anak-anaknya – masih tertidur pulas. Aku tau, ia akan segera mendatangi kamarku yang letaknya ada di belakang rumah mereka, terpisah dari rumah utama. Dari langkah kakinya yang terdengar berjalan di seret itu, terdengar ia menghampiriku, membuka pintu kamarku pelan-pelan, memandangku penuh sayang, dan segera matanya akan menangkap tubuhku yang masih meringkuk kedinginan, kemudian ia memeluk tubuhku erat, mencium dan mengendus sekejap kepalaku, dan segera saja kehangatanpun merasuki tubuhku meski kantuk masih mengelayut. “Wes isuk saiki, yo tangi ”, ujarnya terdengar parau membangunkanku dengan “caranya” itu di setiap pagi buta.

Melihat dari sikapnya, aku tau ia sangat menyanyangiku, tetapi akupun kadang merasa jenuh dan cape juga melayaninya di setiap pagi hari. Aku sebenarnya sayang juga padanya karena ialah satu-satunya orang di rumah ini yang paling menyayangiku, meski anak dan istrinya berlaku baik juga padaku, tetapi rasa sayang si lelaki separuh baya itu melebihi seluruh keluarga ini. 

Pernah di suatu pagi buta, ketika si lelaki separuh baya itu sedang mendekapku, terdengar suara istrinya dari dalam rumah memanggil-manggil si lelaki separuh baya itu, “Pak ... pak, kamu dimana ? tuh si ade nangis terus, tolong di jagain dulu, aku mau ke pasar!, teriak istrinya sambil mencari-cari si lelaki separuh baya itu. Mendengar sang istri memanggilnya, dekapannya kepadaku segera ia lepaskan, kemudian ia segera berlalu meninggalkanku yang baru saja akan merasakan kehangatannya. Tubuhku yang mulai menghangat itupun segera ia tinggalkan begitu saja. Aku hanya menghela napas berat. Dan akupun harus segera bangun dan melakukan tugasku di setiap pagi hari buta.

Perlakuannya terhadapku membuatku hanya bisa terdiam pasrah. Ada rasa aman dengan semua yang ia buat padaku, meski sejatinya diusiaku yang cukup dewasa ini aku seharusnya sudah memiliki pasangan hidup atau setidaknya kekasih. Tetapi hingga detik ini aku masih sendiri, tak banyak hal yang dapat aku perbuat dengan semuanya ini, aku hanya bisa nrimo. Memang hidupku ini sangat tergantung dengan keluarga ini, terutama tergantung dengan si lelaki  separuh baya itu.

Suatu hari, aku di pertemukan dengan perempuan muda nan cantik oleh si lelaki separuh baya itu. Ia membawa perempuan itu padaku, katanya sudah saatnya aku memiliki pasangan, keluarga dan keturunan, aku terharu memandang si lelaki separuh baya itu ketika ia mempertemukanku dengan perempuan calon pasangan hidupku itu, ah, ternyata ia sangat peduli padaku batinku.

"Kalian berpikir apa ?", Aku memang bukan betina atau ayam petelur seperti yang kalian pikirkan. Aku jelas-jelas pejantan tangguh alias jagoan tulen – bukan laki-laki yang setengah-setengah seperti si prapto kawan istrinya si lelaki separuh baya itu, yang jika malam hari namanya berganti menjadi si pretty itu, meski aku ini jago tulen tetapi hatiku sudah tertambat pada hati si lelaki separuh baya itu, entahlah apa namanya ini, tetapi rasa sayangku kepada si lelaki separuh baya itupun tak menghalangi rasa cintaku pada pasangan baruku. 

Setelah aku resmi memiliki pasangan hidup, aku dan pasanganku masih tinggal bersama-sama keluarga si lelaki separuh baya itu, si lelaki separuh baya itu masih tetap setia pula mendatangiku di pagi buta. Dan biasanya ketika si lelaki separuh baya itu datang, pasanganku itu masih tertidur pulas. Tetapi, belakangan tingkah si lelaki separuh baya itu menggangu pasangan hidupku, jika sudah demikian pasanganku itu akan marah padanya, dan si lelaki separuh baya itu akan segera pergi meninggalkan kami. 

Pernah suatu hari ketika si lelaki separuh baya itu duduk-duduk di belakang rumah dekat kamarku, tanpa banyak cincong pasanganku langsung memasang wajah bringas layaknya ayam betina yang sedang mengeram dan takut telurnya di ambil. Dan si lelaki dengan sangat pengertian akan beringsut pergi meninggalkan kami – aku, pasanganku dan calon jabang bayiku.
 
Setelah beberapa tahun berlalu, aku sekarang telah memiliki beberapa anak – ada enam  anak – dan merekapun mulai beranjak besar – tanggung – begitu biasa orang bilang. Tetapi kebahagiaan keluargaku mulai terusik, semua berawal dari krisis keuangan yang dialami keluarga si lelaki separuh baya itu. Tetapi, aku sekeluarga bersyukur masih bisa bertahan hidup di rumah si lelaki separuh baya itu, dan itu karena kebaikan hati si lelaki separuh baya itu terhadap kami. Meski ekonomi mereka mulai morat-marit, aku dan keluargaku masih di pertahankan oleh mereka untuk tetap hidup bersama-sama mereka, di lingkungan mereka tinggal.

Suatu pagi aku mendengar bisik-bisik si lelaki separuh baya itu dengan istrinya,”Jangan bu, kasian mereka”, kata si lelaki separuh baya itu, “Tapi, bagaimana lagi pak, ini terpaksa” kata istri si lelaki. Dan ketika pagi beringsut siang, salah satu anak kami di bawa oleh istri si lelaki separuh baya itu  entah kemana, dan sejak saat itu aku tak pernah bertemu dengan anakku nomor satu itu.

Sejak mundurnya daya beli keluarga si lelaki separuh baya itu, tanpa pernah aku tau mau di bawa kemana, satu-persatu anakku menghilang tanpa jejak, hanya bisik-bisik mereka saja yang terdengar, “Sudahlah iklaskan saja, habis mau bagaimana lagi kita pak, memangnya kita mau lapor pak RT”, bisik si istri. Mendengar semua itu akupun tak bisa berbuat apa-apa, hanya rasa pilu yang berusaha kupendam tanpa banyak berbuat.

Tragis dari keterpurukan keuangan keluarga ini, akhirnya memporak-porandakan keluargaku. Anak-anakku satu persatu hilang tanpa jejak. Aku jadi teringat dengan kasus perdagangan manusia - trafficking -  yang sering mereka lihat di tipi, jangan-jangan anak-anakku mengalaminya hal itu pikirku galau. Dan hari ini, ketika aku terbangun, aku menemukan pasangan hidupkupun telah raib entah kemana. Aku tak mendapatkan jawaban yang berarti dari rasa tanda tanya besar di kepalaku. Hanya si lelaki separuh baya itu saja yang berusaha menenangkanku.

Siang itu, aku melihat seluruh keluarga si lelaki separuh baya itu – ia, istri dan anak-anaknya – sedang berkumpul di ruang makan. Mereka terlihat sedih. Aku, aaaakkku dimanakah aku?, mengapa aku bisa melihat mereka sekeluarga, sementara aku tidak berada di tengah-tengah mereka? dimanakah aku? Oh, aku bisa melihat semua, seluruh isi rumah si lelaki setengah baya itu – dimanakah aku? sepertinya aku berada di dimensi lain – dimensi yang aku sendiri tak mengerti – Aku hanya bisa memandang semuanya. Tak ada kata yang bisa terucap.

Aku memandangi satu-persatu wajah keluarga si lelaki separuh baya itu –  Ia dengan bibir terkatupnya yang rapat penuh duka, Istrinya dengan peluh yang kadang menetes dari wajahnya, si sulung – seorang anak laki-laki remaja dengan wajah yang tertunduk tak berdaya, seorang perempuan adik si sulung dengan jari tak henti mengetuk-ngetuk meja perlahan, dan seorang anak perempuan kecil yang duduk di dekapan si ibu yang sesekali rewel   semua tampak murung, tak ada kebahagiaan.

Terdengar suara sendok bertemu piring berdenting, satu-persatu mereka mulai mengambil nasi, menuangkan sayuran dan mengambil lauk gulai ayam yang tampaknya sangat lezat itu. Tetapi beberapa menit berlalu, tak ada yang mulai menyendokkan makanan dari piringnya untuk di masukan ke mulut. “Ayo, makan”, suara si ibu terdengar memerintah. Hening sesaat. Cuma helaan napas berat terdengar dari mulut-mulut mereka. 

Dengan berat hati mereka mulai makan di siang itu, hanya si lelaki separuh baya saja yang tetap bergeming – tak menyentuh sedikitpun makanan yang sudah tersaji di piringnya. “Pak, makanlah pak, sudah tiga hari ini kita tak makan, saatnya kita untuk makan pak!” bisik si istri pada si lelaki separuh baya itu. Dan aku melihat wajah si lelaki dengan mulut terkatup muram dan titik air mata di sudut matanya, mematung tak berdaya. Tak lama, lamat-lamat aku mendengar suara berbisik si lelaki setengah baya itu,“Jago, maafkan aku, cuma kamu yang tersisa”.


Jakarta, 12 Juni 2013


Neh, lagi belajar nulis fiksi euy :)

 Salam,
Auntie Dazzling

30 komentar:

  1. ah..awalnya kukira kambing.. ternyata jago to... hehe...

    BalasHapus
  2. cie ... makan pake berat hati segala, gimana kalao pake berat badan ??? setuju ???

    BalasHapus
  3. waaah ternyata mba jago bikin fiksi juga :D
    lanjutkan mba hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi yg jago itu tokoh si aku dlm cedita ini, kalo saya mah pere .. perempuan :)

      Hapus
  4. Whoaaaaa...
    Ternyata beginilah jeritan hati seekor ayam yang merasa terbuang dan kemudian tersingkir yah...hihihi...

    Keren sekaliiiii...
    sukaaaaa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah ini sebenarnya bukan jeritan, tpi si aku bercerita tentang masa2 ia hidup bersama sang majikan dan sejatinya ia adalah seekor ayam jago

      Hapus
  5. Saya malah gak paham kalau yg dimaksud itu ayam jago, tadinya saya kirain mahluk astral gitu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mksudnya tokoh utama si aku memang si ayam jago itu yg pd akhirnya hrs menjadi santapan keluarga si pemilik meski si jago adalah kesayangan si Lelaki.

      Hapus
    2. Wah bener-bener berat ini, kelas tingkat tinggi..

      Hapus
    3. Wah mas bro ini ada2 aja, gak berat kok, kan gak panggul :)

      Hapus
  6. kisahnya membuyarkan anggapanku. Tak kirain memang terjadi tarffic king. Ternyata wanitanya meninggal ya inti dari cerita ini.

    Fiksinya ane kasih nilai 2 jempol

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tokohnya bukan seorang wanita tetapi seekor ayam jago yg meskipun kesayangan si Lelaki pd akhirnya hrs menjadi santapan kelurga karena kel.sang pemilik jatuh miskin.

      Hapus
  7. Waw! Ini sih ngetwist bgt.... Gue kira tadinya pembantu bahenol yg suka diusilin majikannya. Walo bnyak clue yg coba menguak tapi diplesetin sejadinya! Misal, masa' toh ayam diibaratin ama ayam juga? Pada kata mengeram, telor, seperti ayam betina. Itu kan clue yg terang2an...

    Tapi congrats ya, Bun! Ini aja udah keren dan gak nyangka akhirnya. Pasti nantinya smakin bagus dan bagus.

    Koreksi dikit, Bun! Perhatiin penggunaan kata depan: diseret bukan di seret. Kata sandang: si Lelaki bukan si lelaki. Kata hubung: kehangatan pun bukan kehangatanpun.

    Overallisgudjob! ;-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. You got it babe :)
      Kamu beneerrr banget.

      Thanks ea apresiasinya,& thanks juga koreksinya. Saya masih harus banyak belajar dan cerpen ini bahasa penulisannya masih gak oke.

      Hapus
    2. Ur welcome, Mama! Udah oke kok penulisannya! Moga tambah oke aja... Yuk dilanjut ke fiksi berikutnya, 'coz u r ok! ;-)

      Hapus
  8. fiksinya bener-bener gres. Ane yang gemar membaca novel belum pernah ketemu fiksi seperti ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih apresiasinya, ini menambah semangat saya untuk menulis.

      Hapus
  9. Gue kira ini cewek lo tokoh utamanya, aneh bener ya masa pria paruh baya dekap-dekapan ama cowok. wahaha
    Bagus si mbak, berbakat kayaknya kalo dikembangin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ezra kamu salah, tokoh aku tuh si ayam jago bukan laki-laki sesungguhnya :)

      Hapus
  10. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  11. endingnya bru tahu kalo nih ayam jago jdi hewan kesayangan.. cerita yg bagus !

    BalasHapus
  12. wah .. endingnya sedih amat ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sedih ya endingnya, rasanya harus buat yg endingnya bahagia

      Hapus
  13. Memang kalau gak dibaca benar artikelnya, gak bisa ngikuti alur ceritannya. Terima kasih sobat telah berbagi artikel

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih juga sudah membaca dan memberi komentar :)

      Hapus
  14. diawal aku tertipu tapi dietngah mulai curiga hehehe

    BalasHapus

Kunjungan anda adalah harapan bagi saya, tinggalkan jejak anda pada kolom komentar sebagai tanda harapan buat saya. Dan, semoga ini bukan harap-harap cemas :)
Dan diatas semua harapan, saya haturkan terimakasih atas kunjungannya :)

SAYA SUKSES - THE SECRET

The Secret - Rhonda Byrne Datangnya lebih awal. Di luar dugaan. Semesta telah bekerja begitu cepat buat saya. Ini adalah pelajaran berharga ...