Fiksi
"Ya,saya bersedia!" Jawab calon istriku, ketika aku melamarnya dengan mahar buku karanganku sendiri.
***
"Aku harus bisa menyelesaikannya!" Kata hatiku bersiteguh.
Ya, ini adalah halaman terakhir dari buku yang aku buat. Aku yang memang bukan seorang penulis ini, harus bisa memaksa diriku sendiri untuk bisa menyelesaikan buku ini, meski mungkin hanya satu buku ini saja dalam hidup. Tak mengapa pikirku, yang penting aku bisa menyelesaikannya.
Buku yang sedang aku tulis ini jelaslah bukan buku komersial, tetapi ini adalah buku pesanan pacarku. Pacarku ini hanya mau dipersunting olehku jika maharnya sebuah buku yang ditulis oleh diriku sendiri. Waktu pertama kali mendengar keinginannya ini aku sedikit terkejut. Aku coba membujuknya.
"Honey, bagaimana kalau mahar bukunya "Pada Sebuah kapal" karangan Nh. Dini saja?" Rayuku padanya.
Alih-alih mengiyakan, Ia malah mengerutkan keningnya.
"Mas, kuliah berapa tahun?" Tanyanya.
Aku terkejut.
"Memangnya kenapa honey?" Aku balik bertanya.
"Ya, jika mas bisa menyelesaikan kuliah dengan baik, bahkan lulus cum-laude dengan nilai 3,5 masa mas tidak bisa menulis buku sih!?" Katanya sedikit menyindirku.
Aku terdiam. Dalam hati aku merasa malu dengan ucapannya. Ya, aku dulu memang lulus cum-laude tapi sampai detik ini belum pernah satu buku pun aku hasilkan, selain skripsi yang aku pernah buat sebagai persyaratan akhir pendidikan akademisku saja.
Air mukaku memerah. Aku merasa tertantang untuk bisa membuat satu buah buku karyaku sendiri. Ya, meski itu hanya satu saja.
"Baiklah, kalau itu memang persyaratan aku untuk bisa meminangmu!" Jawabku dengan tegas.
***
Mataku menerawang jauh ke belakang. Menembus awal perjalanan cinta kami - aku dan Puja pacarku.
Perpustakaan yang letaknya di jalan Jawa Kota Bandung itu adalah tempat pertama aku dan Puja bertemu. Dan disanalah awal kami jatuh cinta. Ketika tanpa sengaja, tangan kami bertemu di salah satu buku yang sama-sama kami ingin lihat. Ya, buku Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini inilah yang menjadi cikal bakal cinta kami bertaut. Saat itu mukaku mendadak terasa hangat ketika tanpa sengaja tangan Puja bersentuhan dengan tanganku untuk menarik buku yang sama. Puja memandangku, demikian juga aku memandangnya. Beberapa detik kami saling bertatapan. Adau suasana grogi diantara kami berdua.
"Oh, mas mau ambil buku ini juga ya?" Tanya Puja padaku memecahkan keheningan sesaat itu.
"Euu anu itu ... ," aku malah tergagap.
"Kenapa mas?" Tanya Puja lagi.
"Oh iya, silahkan duluan," kataku dengan detak jantung yang bergemuruh.
"Terimakasih ya mas," kata Puja dengan senyum misterius yang membuat jantungku rasanya mau copot.
Kuambil buku dengan judul lain. Aku duduk di kursi yang ternyata tepat berada di depan Puja. Kubuka lembar demi lembar buku yang ada di tanganku. Berani sumpah tak ada secuilpun yang nyantol di otakku.
"Mas bukunya bagus?" Tanya Puja padaku tiba-tiba.
Aku tergagap. Tak siap dengan pertanyaannya yang tiba-tiba itu.
"Bagus," sahutku asal.
"Cerita tentang apa mas?" Tanyanya lagi.
"Eemm ... anu!" Sial aku tergagap lagi.
"Oh ya, aku Panji! Kamu ?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan sambil mengangsurkan tanganku padanya.
"Saya Puja," sahut Puja ramah.
Kami bersalaman. Ada kehangatan menjalar ketika tangan kami bertemu. Dan aku orang yang paling merasakan rasa hangat itu. Ya, bagaimana tidak suasana hatiku sudah terlanjur senang. Dan Puja sendiri? ah, aku tak tau perasaannya saat itu. Yang ku tau Puja begitu ramah dan terlihat cerdas. Itu mungkin yang membuatku langsung terpesona padanya. Dan itu bagai mengaminkan kutukan love at first sight buat kami berdua.
***
Aku mendekap buku berjudul "Kidung Puja." Napasku terasa memburu. Kutarik napasku pelan-pelan untuk membuatnya tenang. Tak lama aku telah bisa menenangkan diriku. Kuberikan buku itu pada adik laki-lakiku. Adikku inilah yang akan menjadi wali pernikahanku sebagai ganti ayahku yang telah tiada.
Aku melangkah memasuki sebuah ruang yang sudah dipersiapkan untuk ijab kabul pernikahan aku dan Puja.
Kulihat Puja dengan pakaian pengantin berwarna broken white. Puja masih terlihat cantik di usianya yang sudah tidak muda lagi. Aku terharu melihatnya. Mataku kabur tertutupi air mata, tapi aku tau air mata itu tidak boleh keluar dari mataku yang seorang laki-laki ini. Air mata ini hanya boleh Puja saja yang bisa melihatnya jika kami sudah resmi menikah.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Puja binti Suparman dengan mas kawin sebuah buku berjudul Kidung Puja dibayar tunai," ucapku lancar.
Kelegaan langsung menyeruak di dadaku waktu kata sah terdengar. Kutatap Puja. Wajahnya terlihat bahagia dan lega. Tetapi matanya tak bisa menutupi kepedihan hatinya. Aku nyaris mengeluarkan air mata, tapi aku tidak boleh menangis. Karena tangisanku itu sudah menjadi basi sekarang.
***
"Maafkan aku honey!" Kataku pada Puja istriku setelah perhelatan pernikahan sederhana kami selesai.
Puja menangis. Aku menangis. Wajahku terasa menghangat. Ada rasa sesal yang sangat menggunung di dalam hatiku.
Kalau bukan karena nazar-ku padanya, mungkin pernikahan ini sudah kami dilakukan tiga puluh tahun yang lalu.
Tapi ...
Nasi sudah menjadi bubur dan bubur itu sekarang harus kami nikmati dengan iklas dan lapang dada. Andai saja aku tersadar dulu-dulu, mungkin sekarang aku sudah mempunyai anak. Mungkin satu atau bahkan lebih dari itu. Tetapi sekarang aku harus berani memetik buah ketidakseriusanku. Bukan hanya aku, tetapi yang menjadi korbannya justru Puja kekasih hatiku.
Memang waktu itu Puja meminta mahar buku karanganku sendiri, tetapi seiring waktu berjalan aku tidak segera memulai menulis buku. Aku malah ingin mempermainkan Puja dengan permintaannya itu. Aku yang kala itu sudah memiliki pekerjaan bagus dan kawan yang cukup banyak hampir melupakan Puja. Aku malah sibuk dengan urusanku sendiri. Hingga janjiku menulis buku itu tidak pernah kumulai. Dan Puja sudah berusaha mengingatkanku untuk melupakan permintaannya itu. Ia malah menyetujui tawaran buku Pada Sebuah Kapal karya Nh. Dini yang pernah kutawarkan itu. Tapi dasar aku keras kepala, aku malah tak mempedulikannya. Tindakanku itu bagai balasanku akan permintaannya yang tak bisa aku penuhi.
Hingga suatu hari Puja bertanya padaku,
"Mas sebetulnya kau serius padaku kah?" Tanya Puja
Aku tersentak.
"Yaaa ...!" Jawabku sedikit gamang.
"Kalau kau serius segera nikahi aku. Aku sudah tidak punya kesempatan lagi memiliki keturunan!"
Jantungku serasa berhenti seketika mendengarnya. Hatiku terasa perih bagai diiris pisau tajam kemudian disiram air cuka. Kuusap kepalaku yang rambutnya mulai menipis ini. Oh, ternyata aku bukan si Panji yang muda belia itu lagi. Dan, Pujaku bukan Puja yang usianya masih 23 tahun itu lagi.
Dan percakapan itu adalah percakapan satu tahun lalu. Dan, diusiaku yang tidak muda ini akhirnya aku baru mulai menulis buku. Nazarku pada Puja. Dan satu tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan sebuah buku. Buku Kidung Puja ini akhirnya benar-benar bercerita tentang Puja. Tentang kebaikannya. Tentang kecerdasannya dan tentang kesetiaannya padaku. Kesetiaan yang teramat sangat. Kesetiaan menungguku hingga usianya tidak muda lagi. Lima puluh tiga tahun usianya kini. Usia menopause. Usia yang sulit untuk memiliki keturunan lagi. Maafkan aku Puja.
Salam,
Auntie 'eMDi' Dazzling
Auntie 'eMDi' Dazzling
berat jga ya maharnya.. menulis sebuah buku.
BalasHapuscerita yg menarik !
Biar semua orang bisa menulis mas hehe
Hapuslumayan juga tu mas mahar nya, namun demi si dia apapun rela kita lakukan, hehehehe
BalasHapusTapi gak seperti cerita diatas ya segitu lama .... ^_^
HapusHahaha... Mas kawinnya itu lho... Ada kah yang seperti itu di dunia nyata, Tante? :P
BalasHapusNuel kalo mas kawin buku karangan sendiri di dunia nyata sih ada, contohnya Bung Hatta maharnya buku karangannya sendiri loh waktu nikah.Keren kan! Justru ide cerita ini dari mahar bukunya Bung Hatta say hehe
HapusOh ya cuma kalo harus menunggu segitu lama hahaha tau ah !!
HapusHahaha.. oh gitu...
HapusKayaknya asyik juga, kalau aku nikah, maharnya pake novel aku... Hahaha... Dia mau nggak yah? :P
Hehe keren dong Nuel. Dijamin chayank kamu pasti mau deh ^_^
HapusTergantung.. Bukunya bang Nuel apa dulu.. Kadang dia rada random temanya. wkk
HapusHaha random, kayak mimpi nyium cewek cakep itu ya, gak taunya bapak2 berkumis zra wkwk
Hapuskalau serius pasti bisa ya menulis buku jadi bisa memenuhi janji
BalasHapusYa Lid, cita2ku juga pengen bisa nulis buku ... hehe
Hapus53 tahun? ogah ah sama puja
BalasHapusHaha tampaknya Puja jg ogah sama StumonK secara beda spesies katanya whuahaha
Hapuseh pernah loh Mbak, aku terbayang, mau minta mahar berupa paket buku seumur hidup dan dibuatkan perpustakaan kecil, jdi baca fiksi ini senyum2 sendiri :D
BalasHapusWidiiih keren tuh say mimpinya. Suka nih sama mimpi seperti ini :)
HapusKeren gelo ieu mah! Mangstab! Pesan moralna beunang pisan. Ulah mangengke-engke panggawean. Kitu kan, Ma'e? Eling Puja janten eling pilem India! Hehe..
BalasHapusHehe sebenernya gak ada pesan moral, yang ada pesen buru2 nikahin hehehe *just kidding
HapusKalo pesan buru2 nikahin itu malah jadi pesan yang mengganggu moral kawula muda! Bhahaha
HapusHahaha mengganggu jadi pengen buru2 nikah ya ?! hahaha
Hapusmaharku juga sebuah buku, tapi bukan buatan sendiri, judulnya " yang mengenal dirinyamengenal Tuhannya" karangan Al Rummi...hasilnya 3 orang anak deh tuh...;o)
BalasHapusWaah ternyata si mas keren, mahar nikahnya bener2 buku. Bisa jadi contoh nih buat yg lain :)
HapusUnik juga ya mbak, maharnya buku. Mungkin karerna latar belakangnya mereka bisa pacaram karena ketemu di perpus
BalasHapusAyolah Zra buat buku buat mas kawin calon istrimu atau buku yang isinya foto narsis kmu semua, hihi di jamin cewekmu suka :)
Hapuskira kira ada nggak ya mbak kisah nyata yg mungkin mirip cerita fiksi di atas ? :)
BalasHapusHihi kalo harus nunggu segitu lama kayaknya sih gak ada ya El, tapi who knows gitu loh :)
Hapus