Opera
Sabun
It’s show time
“Aku
harus bagaimana ini, ikut saja atau… Mm, sudahlah.”
Reno
melangkah perlahan dengan ragu mengikuti keranda bertudung hijau di depannya.
Sebenarnya ia sedikit enggan mengikuti prosesi pemakaman ini, tetapi apa kata
orang jika ia tidak ikut dalam prosesi ini.
Huh!
Dari mulutnya terdengar desahan tak jelas, napasnya yang sedikit tersengal ia hembuskan
kuat-kuat. Langkahnya yang tadi lambat kini sedikit tergesa seolah terhipnotis oleh
para pembawa tandu keranda yang berjalan cukup cepat. Sepatu kets kesayangannya
sekarang dihiasi tanah merah kuburan di beberapa bagian. Ini adalah hari
terakhir di mana ia bisa memandangi keranda yang membungkus jasad Sonya, pacarnya.
Sebulan
lalu ia ingat betul bagaimana ia dan Sonya masih bersama-sama. Sonya yang manja
itu memang berbeda dalam segala hal dengan perempuan-perempuan pilihan orang
tuanya. Tepatnya pilihan ibunya. Terakhir, ibunya menyodorkan seorang gadis berusia
belasan tahun yang membuatnya protes keras.
“Gadis
seusia itu cocoknya masih berseragam SMP, bu. Mengapa ibu menyodorkannya
padaku?”
“
Biar mudah diatur,” ibunya menjawab ketus.
Sudahlah,
ia tahu gadis itu tidak jelek, bisa dibilang tergolong cantik. Tapi dia masih
kecil, jangan-jangan ini termasuk kejahatan seksual pada anak. Polisi bisa
menciduknya gara-gara ini. Hiii…, ia bergidik, bulu kuduknya seolah berdiri
tegak.
Memang
gara-gara Sonya lah hubungan dengan keluarga terutama ibunya menjadi rumit. Persis
seperti benang kusut yang susah diurai kembali. Dan dirinya hanya pasrah saja
akan keadaan itu. Hatinya begitu kuat dan yakin cintanya hanya untuk Sonya
seorang.
Tak
berbeda dengan Sonya, Reno adalah pujaan hatinya. Susah betul kedua anak
manusia itu dipisahkan. Mungkin hanya maut yang bisa memisahkan mereka.
Dan maut itu benar-benar datang menyapa Sonya,
tepat di tahun ke sepuluh mereka berpacaran.
Sepuluh
tahun perjalanan cinta adalah bukan waktu yang sebentar. Bayi mungil anak
kakaknya yang lahir sepuluh tahun lalu itu saja sekarang sudah beranjak besar,
sudah kelas 5 SD ia sekarang. Dalam kurun waktu itu sebenarnya ia sangat ingin
segera meminang Sonya. Tapi, keluarga besarnya malah kebakaran jenggot. Mereka
melarang bahkan mengusirnya dari rumah.
Sakit
rasanya.
Sakitnya
tuh di sini!
Suatu
kali ibunya pernah merestui hubungan asmara mereka, tetapi sayang restu itu
berjalan hanya dalam hitungan detik saja.
Karena di detik ketujuh restu itu hancur bersamaan dengan terjatuhnya ia dari
kursi.
Ah,
rupanya itu hanya hayalan tingkat tingginya saja. Pret!
Apa
sih yang diharapkan dari seorang laki-laki sepertinya?
Ia
hanya mengharapkan seseorang yang mengerti dirinya. Cukup. Dan Sonyalah
satu-satunya orang yang bisa mengerti dirinya. Mungkin, sangat mengerti. Jadi,
untuk apalagi ia mencari-cari yang lain, jika sudah ada orang yang tepat.
Huh!
Pusing ia memikirkan semua tentang itu.
Atau
mungkin sebaiknya aku dan Sonya pergi dari kampung ini, seperti pasangan lain
yang “kawin lari” jika tidak direstui orang tua. Terbesit juga pikiran konyol
ini. Tapi, segera dikuburnya niat itu.
Ia
teringat, suatu malam Sonya bertandang ke rumahnya, cukup pintar Sonya mengambil
hati ibunya. Dengan cerdas, dibawakannya makanan special kesukaan si ibu,
serabi solo. Rasa yang sekarang bukan hanya original
itu membuat air liur si ibu keluar tak tertahan, persis seperti seekor anjing
yang lidahnya menjulur-julur keluar untuk mendinginkan suhu tubuhnya karena
cuaca panas. Dalam sekejap ditandaskannya satu kotak serabi solo berisi 20 biji
dengan rasa rupa-rupa itu ; coklat, keju, duren dan nangka. Untuk sementara,
serabi solo bisa meredam kemarahan hati si ibu.
Ren,
aku enggak tahan dengan semua ini, tapi aku juga enggak bisa hidup tanpa
kamu. Sonya sering berkeluh kesah
seperti itu. Baginya keluhan kekasihnya ini adalah keluhannya juga.
Keluarga
kedua belah pihak, baik Sonya maupun Reno tampaknya sama-sama tidak menyukai
hubungan anak mereka itu.
“Jijik!”
Suatu kali bapaknya bicara seperti itu padanya. Hati anak mana yang tidak
hancur jika sang bapak saja sudah mengatakan itu.
Bapaknya
bilang, jodoh itu harus seimbang seperti Ying dan Yang. Bukan semau deweke seperti kamu, sungut bapak. Bisa-bisanya
bapak tahu istilah Cina Ying dan Yang, padahal moco aja enggak bisa, batinnya.
Iya,
dirinya memang bukan Ying, dan Sonya juga bukan Yang. Reno, ya Reno. Sonya, ya
Sonya. Sudah, itu saja. Gerundel hatinya.
Tapi
sejak Sonya jatuh sakit, ya sebulan yang lalu itu, tidak pernah terbesit
sedikit pun Sonya akan meninggalkan dirinya, apalagi untuk selama-lamanya.
Tiba-tiba
saja kesedihan mendera dirinya. Ada segerombolan air mata mendesak untuk ke
luar. Digigitnya bibirnya kuat-kuat untuk menahan tangis yang hampir tak dapat
dibendung. Sebagai laki-laki pantang rasanya menangis. Laki-laki itu harus jentelmen begitu ibunya bilang. Dan
sebagai laki-laki ia tidak mau terlihat cengeng di depan orang, meski hatinya
sebenarnya mewek darah.
Sebenarnya,
dua minggu yang lalu ia sudah membawa Sonya ke dokter. Selama sakit Sonya tidak
mau dibawa ke dokter oleh keluarganya. Karena Reno lah ia mau pergi ke dokter.
“Penyakitnya
sepertinya sudah lama bercokol, mungkin tidak dirasa saja. Tapi, kita periksa
lab dulu biar jelas,” ujar si dokter.
Kalau
orang divonis suatu penyakit, seenteng apa pun penyakit itu pasti tetap berat
terasa. Bagi Reno, penyakit Sonya yang belum tahu apa itu adalah pukulan
terberat hidupnya.
Andai
ia bisa menciptakan dunianya sendiri, ia ingin pergi berdua saja bersama Sonya.
Apa pun yang ia kerjakan andai itu bersama Sonya selamanya akan menyenangkan.
Kata orang rasa demikian itu namanya kerjanya si hormon endorphin yang tahannya
cuma sebentar kemudian rasa senang itu akan menurun seiring berjalannya waktu,
dan kemudian hilang. Tapi nyatanya perjalanan cinta antara ia dan Sonya sudah
memasuki tahun ke sepuluh, dan semua rasa itu masih sama. Masih seperti awal
mereka jatuh cinta.
“Reno,
kalau dokternya kamu, aku sakit gini juga enggak apa-apa. Kan, kamu yang
periksa dan ngerawat aku,” ujar Sonya dengan tatapan mata lekat memandangnya.
Reno
hanya diam, tangannya yang sedikit basah meremas tangan Sonya kuat. Ada
ketakutan yang menggelayutinya. Terbayang olehnya awal ia dan Sonya berkenalan.
Sonya yang introvert itu bertemu
dengan dirinya yang sebenarnya tipe extrovert.
Tetapi, sejak mengenal Sonya, sifatnya yang terbuka itu berubah menjadi tertutup
seperti Sonya. Banyak teman-temannya yang merasa heran dengan perubahan sifat Reno.
Bukan!
Bukan itu sebenarnya.
Perubahan
sifat Reno bukan karena Sonya.
Tetapi
justru satu tahun ke belakang sebelum ia mengenal Sonya. Ya, tepatnya sejak ia ditolak
cintanya oleh salah satu cewek cantik paling beken di sekolah SMA-nya dulu.
Bagi Reno cowok yang tergolong dalam jajaran tampan itu ditolak cinta pantang dalam
kamusnya. Dan, kalau memang ia ditolak pun enggak masalah, lha wong masih banyak cewek yang antri buat dipacarinya.
Tapi, bukan itu masalahnya. Masalah yang utama karena ia merasa dipermalukan di
depan umum. Dipermalukan justru oleh orang yang ditaksirnya.
Bayangkan
saja waktu ia nembak si Lusi cewek cantik bertampang indo itu, bukannya
diterima atau ditolak dengan lembut gitu, ia malah mendapat tamparan kencang
tepat di pipi kanan dan kirinya. Tidak hanya sampai di situ, si cewek imut ini
pun meludahinya.
“Ciih,
jijik aku denger rayuanmu itu Ren! Kamu memang ganteng tapi jangan kamu pikir
tiap perempuan akan mudah tergoda oleh rayuan gombalmu itu,” cerocosnya. Darah
dalam tubuh Reno seakan mendidih, terkesiap ia mendapat perlakuan seperti itu
dari Lusi. Mukanya memerah hangat. Dadanya bergemuruh kencang, mata tajamnya
memandang Lusi geram. Jari-jari
tangannya membentuk kepalan kuat.
Ada
luka menganga di hati Reno.
Dan
sejak itu Reno menutup diri. Ia tidak pernah bergaul dan menjadi seorang
pendiam tingkat tinggi.
Satu
tahun sejak peristiwa itu ia bertemu Sonya, anak pindahan dari Jakarta. Dengan
Sonya lah ia mulai mau terbuka. Hingga entah siapa yang memulai, mereka menjadi
semakin dekat. Dan dengan bodohnya, mereka mengikatkan diri satu dan lainnya
sebagai pasangan.
Barangkali
itu sudah takdir mereka.
Hubungan
yang semakin intim antara Reno dan Sonya bukanlah hubungan yang mudah. Banyak
orang yang memandang sebelah mata dengan hubungan ini. Bisik-bisik selalu ada
di mana pun mereka berada. Tetapi keduanya tidak tergoyahkan. Mereka begitu
akrab, dekat dan cenderung membikin iri atau mungkin benci orang yang melihat.
Pasangan
yang aneh, begitu bisik-bisik orang.
Gila
tuh si Reno, bisa-bisanya ia jadi berubah seperti itu.
Ah,
keluarkan saja tuh anak baru dari sekolah kita, buat virus saja di sekolah ini.
Bisik-bisik
itu semakin sering terdengar dengan ritme dan irama yang sama, hari lepas hari
hingga mereka lulus sekolah.
Reno
terhenyak ketika seseorang menyerempet dan hampir menginjak kakinya.
Mengembalikan
segala kesadarannya.
Aku masih di sini.
Reno
berdiri mematung. Matanya tajam memperhatikan tanah-tanah merah yang menyeruak
ke permukaan. Sekarang, matanya lebih bisa melihat dengan terang dan jelas. Air
mata yang tadi hampir tumpah itu sedikit-demi sedikit terhapus oleh usapan
tangan kokohnya. Prosesi pemakaman Sonya berjalan cukup hikmat. Ia melihat satu
per satu keluarga Sonya. Ayah, ibu dan kakak serta adik Sonya tampak berwajah
kusut. Mata mereka tampak sembab.
“Maaf,”
suara lirih Reno tanpa ada satu orang pun yang mendengarnya. Bibirnya bergetar
dengan napas yang terputus-putus. Ia merasa menyesal dengan hubungannya dan
Sonya. Mungkin kalau dulu ia tidak terlalu terbuka dan menjadi dekat dengan
Sonya, bisa jadi ceritanya akan lain. Mungkin Sonya tidak akan semakin masuk ke
dalam lembah dunia gelap ini. Dan ia semakin menyesal, ketika kematian Sonya
menjadi sebuah keributan besar dalam keluarga besar Sonya.
Seumpama
dulu rasa dendamnya terhadap perempuan tidak ia lampiaskan pada Sonya, mungkin
ceritanya tidak begini. Bisa jadi hubungan ia dan Sonya hanya sebatas
persahabatan yang indah. Atau kalau boleh ia memilih bisa jadi hubungannya
menjadi sebuah persaudaraan. Karena jauh di lubuk hatinya, ia tiba-tiba saja
merasa jatuh cinta pada adik Sonya yang cantik itu.
Tapi,
mana mungkin?
Apa
mungkin masih ada yang mempercayai perasaan terdalamnya.
Bagaimana
dengan Sonya?
“Maaf
kan aku Sony. Aku sudah salah menterjemahkan kebaikanmu. Aku sudah mengubah
engkau dari seorang anak laki-laki pemalu menjadi seorang perempuan jadi-jadian,
pelampiasan dendam nafsuku. Maafkan aku sahabatku, Sony Praja Kusuma,” bisiknya
pilu.
Suara
doa masih terdengar dari arah makam Sony Praja Kusuma. Reno berjalan menjauh
dari makam itu. Ada penyesalan dalam yang tidak akan pernah hilang dari
hidupnya.
-
TAMAT -
Note
: Seorang penulis memang harus menulis, meski hasilnya belum memuaskan hajar saja
karena ini adalah jalan menuju tulisan yang lebih baik #Keep spirit Sist!
Salam,
Auntie 'eMDi' Dazzling
Auntie 'eMDi' Dazzling
Pas ayahnya bilang jijik, sudah mulai ketebak ceritanya ^^ Tapi keren mbak, terus menulis ya ^^
BalasHapusHehe, enggak nge-twist ya. Belajar say :)
Hapus