"Orang berlalu-lalang di sepanjang Orchard Road Singapore, dengan rupa kulit yang berwarna-warni. Aku duduk terpaku. Mataku tak berkedip. Takjub! Terpesona beragam etnis : India, China, Melayu, Bule dan Negro."
Cinta monyet itu tiba-tiba saja menyapaku. Dan Ia segera saja memasangkan kacamata kudanya padaku. Hingga aku hanya bisa memandang ke satu titik pandang saja. Satu titik yang isinya seorang cowok keren. Ia terlihat cerdas. Dan menawan.
Dan rasa yang baru ku kenal itu mulai bergerilya menguasai relung-relung hatiku. Kehangatan segera menyeruak - menjalar meski sekedar aku membayangkan sosoknya. Perangkap cinta yang dipasang entah olehku atau olehnya, malah berbalik - menjadikan diriku sasarannya yang empuk.
Sleeeppp! Aku pun terbidik tepat.
***
"Sini dulu Cha, mau kemana sih buru-buru?"
Kata Budi padaku sambil menarik tas ransel hijauku. Langkahku segera terhenti. Tanganku sedikit bergetar teraliri sinyal cinta yang di kirim si Otak melewati terminal hati dan terhenti di shelter - persis diujung jari-jariku yang kini berada dalam genggaman tangan Budi. Hangat terasa, menyeruakkan rasa senang di hati. Tapi aku adalah seorang pemain panggung sandiwara yang top punya, hingga orang tak pernah tau apa yang kurasakan sebenarnya.
"Ada apa?" Tanyaku datar. Tak ada kesan tertarik.
"Ya ngobrol dulu dong, ngapain buru-buru masuk kelas. Ngobrol sama ku emang gak mau? Tanyanya lagi.
Aku hanya terdiam. Bibirku tersungging sedikit mengaburkan rasa yang sebenarnya. Tapi jantungku tak bisa kuajak kompromi. Degupnya begitu kencang. Bahagia ... bahagia ... bahagia! Tapi seperti yang sudah aku bilang, aku adalah pemain panggung sandiwara yang top. Jadi Budi tak perlu tau apa yang sebenarnya kurasakan.
Kejadian seperti ini selalu terulang. Hampir setiap hari. Aku datang, Budi telah menungguku. Menarik tas ranselku. Mengajakku berbincang dan aku hanya menanggapinya datar-datar saja. Berbanding terbalik dengan hatiku, yang menyambutnya penuh euforia dan langsung joget-joget ala India sambil nyanyi Kuch Kuch Hota Hai *tapi sayang waktu itu belum ada lagu ini deng hehe
Hingga suatu hari aku melihatnya dengan salah satu cewek, temanku lain kelas ... !
***
Budi ... Budimansyah! Kalian tau siapa dia?
Dia itu sebenarnya teman satu kelasku. Orangnya keren. Cerdas pula. Bahasa Inggisnya jago. Itu yang membuat hatiku meleleh - seperti mentega yang terkena panas api yang segera saja meleleh karena sang Panas.
Tapi aku adalah bukan tipe cewek yang mudah jatuh cinta. Hingga ketika rasa itu menghampiriku, aku tidak mudah mengakuinya. Ku coba untuk mengelabui perasaanku. Tapi rasa itu sudah merajai hatiku. Ya, menjadi raja di hatiku. Dan yang lain? Mereka hanyalah pelayan, yang mencoba menghibur sang Raja.
"Cha, aku mau jadi pacarmu. Kamu mau kan jadi pacarku?" Tanya Budi suatu hari.
Jantungku berdegup kencang mendengar pertanyaannya.
"Gak!" Jawabku munafik, dengan getar kebohongan yang tidak begitu sempurna kututupi.
"Bener! Gak mau? Gak nyesel?" Budi menegaskan, matanya tajam menatapku.
Kepalaku menggeleng ragu, menghianati hatiku yang ingin berteriak ...
"Mau dong jadi pacarmu Bud!"
Tetapi kulit kacang memang terlihat lebih jelas dibanding isinya. Dan Budi hanya melihat sisi luar ku saja, tidak menyelisik hingga ke dalam. Hingga Budi beranggapan bahwa aku benar-benar tidak menginginkannya.
Meski kekecewaan terburat jelas di wajahnya karena penolakanku, tetapi tindakannya padaku tidak berubah. Ia tetap baik terhadapku. Hingga suatu hari - masih di semester pertama esema, Budi mengutarakan lagi perasaannya padaku. Dan aku, masih dengan jawaban yang sama.
"Bener Cha gak mau?" Tanyanya serius.
"Kalo memang kamu gak mau terima cintaku berarti aku akan menerima cintanya Lita padaku," terangnya.
Swiiiing ... !!
Terasa ada sesuatu yang lepas dari hatiku. Aku terdiam. Antara percaya dan tidak dengan yang kudengar. Tetapi keputusan sudah kubuat. Meski ini pil pahit, kutelan juga demi menjaga gengsiku - menjilat air ludah ku sendiri.
***
Inilah awal perjalanan cinta Budi dengan Lita. Lita Gunawan nama lengkapnya. Aku melihat mereka tampak serasi sekali - Lita yang cantik dan Budi yang tampan. Dan aku? Aku hanyalah seorang penonton. Gratisan pula! Jika ini adalah panggung pertujukan beneran, maka aku adalah penonton yang datang tanpa karcis. Bukan karena aku orang penting. Tapi karena aku masuk dengan cara ilegal - menyelinap diantara kelengahan.
Dan panggung pertunjukan itu baru saja di gelar. Aktor, penulis skenario dan sutrada "drama" ini adalah mereka sendiri - Budi dan Lita.
Dan sekarang? Aku adalah si Penonton gratisan itu, yang mendadak menjadi sepintar kritikus film. Semua akting mereka tidak lepas dari pantauanku. Tetapi aku ini ibarat kritikus pintar yang mulutnya terbungkam plester rapat-rapat. Tak ada secuilpun kritikan yang keluar dari mulutku. Yang ada, aku adalah penonton pasif. Penonton yang bahkan tidak peduli atas apa yang di tontonnya. Atau mungkin aku malah tertidur pulas di kursi penonton tanpa terganggu sedikitpun oleh riuhnya cerita panggung cinta mereka.
Dan si Penonton itu pun akhirnya terbangun. Ketika sebuah tepukan membangunkannya.
"Aku sudah putus dengan Lita sekarang. Kamu mau kan Cha jadi pacarku?" Suara Budi terdengar berat mengatakan itu padaku. Aku terkaget. Nyawaku masih berantakan. Sebagai penonton aku benar-benar tertidur pulas tanpa tau drama panggung itu telah berakhir jika tidak si Aktor sendiri yang menepukku dari tidurku yang dalam. Hingga membangunkanku, dan membuat aku tergagap ketika menyadarinya.
"Puutus? Kenapa?" Tanyaku dengan mimik bodoh.
"Sudah aku bilang sejak dulu, aku mau kamu yang jadi pacarku bukan yang lain!" Ceroncos Budi tanpa mempedulikan diriku yang masih berusaha mengumpulkan nyawaku yang masih berantakan tak karuan.
Kutarik napasku dalam-dalam. Berat! Ya, itu yang kurasakan. Tapi apapun yang terjadi jawabanku tetap sama No.
***
Cinta remaja itu memang indah. Meski aku tidak pernah benar-benar berpacaran dengan Budi tetapi rasa yang kupunya dan sinyal cinta Budi itu sudah cukuplah bagiku. Tak perlulah dibenderai dengan kata "pacaran". Tapi bagi Budi ini yang membuat Ia bingung dan penasaran dengan ku. Aku ini ibarat teka-teki silang saja baginya. Kadang Ia bisa menjawab pertanyaan deret ke samping, tetapi kadang Ia stuck di pertanyaan deret ke bawah.
"Kamu tuh susah Cha!" Begitu katanya.
Aku sebenarnya sangat paham perasaannya, tapi prinsip "friend is friend" adalah rule bagiku. Gak ada istilah pacaran. Meski ini gak ngasikin juga bagiku.
"Cha, aku tuh bener-bener sayang sama kamu. Kamu bisa ngerasain gak sih?" Tanya Budi padaku di satu kesempatan jam istirahat pelajaran. Matanya begitu hangat menembus jantungku. Aaaku ... hampir saja tak bisa menahan perasaanku sendiri. Ingin benar kukatakan ...
"Gue juga sayang elo Bud!"
Tapi kata-kata itu malah tersangkut tepat di bawah tenggorokanku, hingga desah napasku saja yang keluar.
"Jika aku berpacaran dengan orang lain itu bukan karena aku yang memilih mereka, tetapi merekalah yang memilih aku. Hatiku sudah milikmu. Kamu ngerti kan Cha?" Kata Budi dengan tatapan mata yang dalam hingga membuat jantungku berdegup kencang bagai berlari marathon saja dag dig dug der gak karuan.
Teeettttt ... ! Bell tanda habis waktu istirahat terdengar.
"Yeaa, saved by the bell," teriak hatiku girang.
Tanpa kusadari Budi malah menarik tanganku.
"Aku serius!" Tegasnya, tangannya menggenggamku erat. Segera ku tepis genggamannya. Banyak mata mencoba mencuri pandang ke arah kami. Mukaku terasa hangat, terlebih mendengar siul-siulan menggoda beberapa teman yang berjalan melintasi kami untuk masuk ruang kelas. Aku diam. Kakiku berjalan menuju ruang kelas 1-12. Budi mensejajarkan diri berjalan di sampingku.
"Please, beri aku jawaban sekarang!" Kejarnya.
"Maaf Bud, aku gak bisa," jawabku gusar. Sebuah jawaban palsu, yang sebenarnya aku tau kebenarannya.
Dan bunyi bell tadi, telah menyelamatkanku - keluar dari tekanan rasa yang sebenarnya hampir membuncah dan tak dapat ku redam itu. Selamat! Aku menyeringai tak jelas. Entah senang entah sedih.
***
"Kalian tau tidak, mengapa aku tidak bisa jujur dengan Budi atau bahkan dengan diriku sendiri?"
Jawabannya sebenarnya sangat sederhana. Aku sebenarnya tidak percaya diri saja. Aku merasa tak sepadan dengan Budi. Budi itu dari kalangan keluarga berada. Sedangkan aku? aku berasal dari keluarga sederhana. Perbedaaan itulah point sebenarnya. Penolakan-penolakanku hanyalah balutan rasa tidak percaya diriku saja padanya. Dan rule "friend is friend" sebenarnya juga bukan harga mati. Rule itu sengaja kubuat untuk membentengi diriku saja, sehingga orang lain tidak bisa melihat isi di balik benteng tersebut.
Apa? Seperti sinetron?! Tapi itulah yang terjadi. Aku tak siap dengan segala perbedaan.
***
Semester ke dua kelas satu esema.
"Cha, mau ya jadi pacarku!" Kata Budi pelan hampir seperti berbisik. Aku tersenyum nakal, ujung ekor mataku menangkap tatapan matanya padaku.
"Mau gak ya?!" Jawabku tidak serius bermain dengan kata-kataku.
Aku berbalik menatap ke arahnya. Oh my God ... mata itu! Suer! Aku tak tahan dengan mata itu. Hampir saja aku ingin memeluknya. Beruntung aku masih tersadar penuh.
"Cha! Aku serius. Aku tidak main-main." Kata Budi tanpa memberiku kesempatan untuk memalingkan mataku dari tatapannya. Aku tergugup. Kugigit ujung bibirku - sakit. Jantung ini berdetak lebih kencang seperti maling di kejar polisi. Cape dan sesak terasa.
"Gak, Bud!" Untuk kali ini jawabanku tampak seperti meyakinkan.
Budi menatapku dalam ... seperti ingin melihat kedalaman hatiku yang sesungguhnya.
"Terluka kah Ia dengan jawabanku? Apa ada luka di matanya?" pertanyaan-pertanyaan tersebut segera bersliweran di kepalaku.
"Oke! Jika itu sudah menjadi keputusanmu. Aku mau nenerima cintanya Tuti, tapi kamu tau isi hatiku yang sesungguhnya!" Katanya serius.
Aku mematung. Tak menyangka Budi akan mengatakan hal di luar dugaanku. Berpacaran dengan Tuti?! Apa tidak salah kupingku mendengar protes hatiku. Huh! Dia pikir aku tong sampah apa? Yang mau menerimanya meski aku tau isi hatinya yang sesungguhnya! Gak layaw! Aku ini bukan tong sampah tapi aku ini apa yaa ??? tanya hatiku galau.
Jawaban sudah kuberikan untuk kesekian kalinya pada Budi. Jawaban yang sebenarnya menghancurkan bukan hanya hatinya tetapi hatiku juga, tapi apa boleh buat - itu mungkin yang terbaik. Parah banget sih kamu Cha!
***
Tuti Astuti. Ini adalah pacar Budi setelah Lita. Tapi sebentar ... ! Kalian tau tidak, Tuti ini adalah sahabat kental Lita sejak esempe. Mereka bersahabat hingga persahabatan itu akhirnya harus hancur berantakan ketika Tuti mulai mendekati Budi. Bahkan mereka berdua menjadi seperti musuh bebuyutan ketika kelak Tuti berpacaran dengan Budi.
Sepengetahuanku Tuti bukanlah penyebab putusnya Lita dan Budi, meski sejak awal Tuti memang menyukai Budi, tetapi Tuti bukan penyebab putusnya hubungan mereka. Dan kalian juga pasti tau dong pada siapa hati Budi sebenarnya terbidik. Apaa? Padaku?! Hehe geer banget ya aku ini!
Sejak penolakanku yang terakhir, akhirnya Budi benar-benar berpacaran dengan Tuti. Semua orang tau. Tidak hanya teman satu angkatan, bahkan guru-guru hingga penjaga sekolah pun tau. Lalat yang biasa nemplok di bakwan bikinannya mpo Rini aja pastinya juga tau. Siapa sih yang gak kenal Budi? Secara tongkrongannya saja sudah pake mobil. Padahal seharusnya Ia belum boleh bawa mobil kan belum punya SIM. Yaa, namanya juga orang kaya!
Terakhir yang membuat mereka terkenal justru karena hadiah ulang tahun Budi dari Ortunya berupa mobil sedan keluaran teranyar untuk saat itu. Dan penampilan Tuti sejak berpacaran dengan Budi pun berubah seratus delapan puluh derajat. Ia yang dulunya agak emmm sorry sedikit dekil sekarang berubah bak puteri impian. Kulitnya yang dulu agak coklat gelap sekarang putih. Wajahnya bening dan licin si Lalat saja terpeleset jika ingin bersandar sejenak di jidat Tuti. Sloor ngedebuk lalat terjatuh saking licinnya jidat Tuti. Perubahannya sungguh besar banget! Aku hanya bisa mengamati. Tapi suer Tuti sekarang cantik mengalahkan Lita sahabat esempenya itu. Tapi aku bersyukur sekali, meski aku suka sama Budi tidak berarti aku membenci mereka. Mereka itu tetap teman-temanku apapun yang terjadi. Malah aku sering mendapati Budi lagi mencuri pandang ke arahku di saat Ia bersama Tuti. Dalam hati aku hanya tertawa - metertawakan diriku dan kemunafikanku.
***
Pagi itu aku datang lebih awal dari biasanya. Aku ingin agak santai saja di sekolah dan tidak terburu-buru karena terlambat. Aku berdiri tepat di depan perpustakaan lantai II. Dari sini pandagan mata bisa langsung ke luar halaman depan sekolah dan tepat di bawahnya akan tampak perparkiran sekolah. Pandanganku mengitari pohon-pohon yang masih belum begitu besar, maklum baru di tanam. Meski hijaunya belum seberapa tapi aku cukup bisa menikmatinya. Matahari bersinar cukup cerah. Pagi yang indah bisikku bahagia. Tak lama berselang sebuah mobil masuk ke parkiran. Aku masih berdiri di tempatku tadi dan masih juga mataku memandang sekitar. Mobil berhenti tepat di parkiran paling kanan. Seorang cewek cantik keluar dari sebelah kiri mobil tersebut. Tuti batinku berbisik. Ia kemudian masih berdiri di depan pintu mobil. Tak lama dari sebelah pintu kanan mobil muncul Budi. Ia keluar dan tanpa sengaja Ia mendongakkan wajahnya ke atas tepat ke arah di mana aku berdiri. Tanpa sadar aku menatapnya. Budipun menatapku dalam. Dan aku melihat mata itu ... ! Mata yang sama ketika Ia mengatakan sayang padaku. # mewek
Aku terpaku. Mataku tak berkedip. Takjub! Terpesona oleh matanya. Dan keterpakuanku itu sama persis ketika aku terpaku di Orchard Road Singapore.
*** The End ***
Note : Jadi intinya ... ? Ya, gak ada intinya hehe.
"Hello Budi apa kabar? Dah punya anak berapa sekarang? Masih inget denganku?"
Budi ... Budimansyah! Kalian tau siapa dia?
Dia itu sebenarnya teman satu kelasku. Orangnya keren. Cerdas pula. Bahasa Inggisnya jago. Itu yang membuat hatiku meleleh - seperti mentega yang terkena panas api yang segera saja meleleh karena sang Panas.
Tapi aku adalah bukan tipe cewek yang mudah jatuh cinta. Hingga ketika rasa itu menghampiriku, aku tidak mudah mengakuinya. Ku coba untuk mengelabui perasaanku. Tapi rasa itu sudah merajai hatiku. Ya, menjadi raja di hatiku. Dan yang lain? Mereka hanyalah pelayan, yang mencoba menghibur sang Raja.
"Cha, aku mau jadi pacarmu. Kamu mau kan jadi pacarku?" Tanya Budi suatu hari.
Jantungku berdegup kencang mendengar pertanyaannya.
"Gak!" Jawabku munafik, dengan getar kebohongan yang tidak begitu sempurna kututupi.
"Bener! Gak mau? Gak nyesel?" Budi menegaskan, matanya tajam menatapku.
Kepalaku menggeleng ragu, menghianati hatiku yang ingin berteriak ...
"Mau dong jadi pacarmu Bud!"
Tetapi kulit kacang memang terlihat lebih jelas dibanding isinya. Dan Budi hanya melihat sisi luar ku saja, tidak menyelisik hingga ke dalam. Hingga Budi beranggapan bahwa aku benar-benar tidak menginginkannya.
Meski kekecewaan terburat jelas di wajahnya karena penolakanku, tetapi tindakannya padaku tidak berubah. Ia tetap baik terhadapku. Hingga suatu hari - masih di semester pertama esema, Budi mengutarakan lagi perasaannya padaku. Dan aku, masih dengan jawaban yang sama.
"Bener Cha gak mau?" Tanyanya serius.
"Kalo memang kamu gak mau terima cintaku berarti aku akan menerima cintanya Lita padaku," terangnya.
Swiiiing ... !!
Terasa ada sesuatu yang lepas dari hatiku. Aku terdiam. Antara percaya dan tidak dengan yang kudengar. Tetapi keputusan sudah kubuat. Meski ini pil pahit, kutelan juga demi menjaga gengsiku - menjilat air ludah ku sendiri.
***
Inilah awal perjalanan cinta Budi dengan Lita. Lita Gunawan nama lengkapnya. Aku melihat mereka tampak serasi sekali - Lita yang cantik dan Budi yang tampan. Dan aku? Aku hanyalah seorang penonton. Gratisan pula! Jika ini adalah panggung pertujukan beneran, maka aku adalah penonton yang datang tanpa karcis. Bukan karena aku orang penting. Tapi karena aku masuk dengan cara ilegal - menyelinap diantara kelengahan.
Dan panggung pertunjukan itu baru saja di gelar. Aktor, penulis skenario dan sutrada "drama" ini adalah mereka sendiri - Budi dan Lita.
Dan sekarang? Aku adalah si Penonton gratisan itu, yang mendadak menjadi sepintar kritikus film. Semua akting mereka tidak lepas dari pantauanku. Tetapi aku ini ibarat kritikus pintar yang mulutnya terbungkam plester rapat-rapat. Tak ada secuilpun kritikan yang keluar dari mulutku. Yang ada, aku adalah penonton pasif. Penonton yang bahkan tidak peduli atas apa yang di tontonnya. Atau mungkin aku malah tertidur pulas di kursi penonton tanpa terganggu sedikitpun oleh riuhnya cerita panggung cinta mereka.
Dan si Penonton itu pun akhirnya terbangun. Ketika sebuah tepukan membangunkannya.
"Aku sudah putus dengan Lita sekarang. Kamu mau kan Cha jadi pacarku?" Suara Budi terdengar berat mengatakan itu padaku. Aku terkaget. Nyawaku masih berantakan. Sebagai penonton aku benar-benar tertidur pulas tanpa tau drama panggung itu telah berakhir jika tidak si Aktor sendiri yang menepukku dari tidurku yang dalam. Hingga membangunkanku, dan membuat aku tergagap ketika menyadarinya.
"Puutus? Kenapa?" Tanyaku dengan mimik bodoh.
"Sudah aku bilang sejak dulu, aku mau kamu yang jadi pacarku bukan yang lain!" Ceroncos Budi tanpa mempedulikan diriku yang masih berusaha mengumpulkan nyawaku yang masih berantakan tak karuan.
Kutarik napasku dalam-dalam. Berat! Ya, itu yang kurasakan. Tapi apapun yang terjadi jawabanku tetap sama No.
***
Cinta remaja itu memang indah. Meski aku tidak pernah benar-benar berpacaran dengan Budi tetapi rasa yang kupunya dan sinyal cinta Budi itu sudah cukuplah bagiku. Tak perlulah dibenderai dengan kata "pacaran". Tapi bagi Budi ini yang membuat Ia bingung dan penasaran dengan ku. Aku ini ibarat teka-teki silang saja baginya. Kadang Ia bisa menjawab pertanyaan deret ke samping, tetapi kadang Ia stuck di pertanyaan deret ke bawah.
"Kamu tuh susah Cha!" Begitu katanya.
Aku sebenarnya sangat paham perasaannya, tapi prinsip "friend is friend" adalah rule bagiku. Gak ada istilah pacaran. Meski ini gak ngasikin juga bagiku.
"Cha, aku tuh bener-bener sayang sama kamu. Kamu bisa ngerasain gak sih?" Tanya Budi padaku di satu kesempatan jam istirahat pelajaran. Matanya begitu hangat menembus jantungku. Aaaku ... hampir saja tak bisa menahan perasaanku sendiri. Ingin benar kukatakan ...
"Gue juga sayang elo Bud!"
Tapi kata-kata itu malah tersangkut tepat di bawah tenggorokanku, hingga desah napasku saja yang keluar.
"Jika aku berpacaran dengan orang lain itu bukan karena aku yang memilih mereka, tetapi merekalah yang memilih aku. Hatiku sudah milikmu. Kamu ngerti kan Cha?" Kata Budi dengan tatapan mata yang dalam hingga membuat jantungku berdegup kencang bagai berlari marathon saja dag dig dug der gak karuan.
Teeettttt ... ! Bell tanda habis waktu istirahat terdengar.
"Yeaa, saved by the bell," teriak hatiku girang.
Tanpa kusadari Budi malah menarik tanganku.
"Aku serius!" Tegasnya, tangannya menggenggamku erat. Segera ku tepis genggamannya. Banyak mata mencoba mencuri pandang ke arah kami. Mukaku terasa hangat, terlebih mendengar siul-siulan menggoda beberapa teman yang berjalan melintasi kami untuk masuk ruang kelas. Aku diam. Kakiku berjalan menuju ruang kelas 1-12. Budi mensejajarkan diri berjalan di sampingku.
"Please, beri aku jawaban sekarang!" Kejarnya.
"Maaf Bud, aku gak bisa," jawabku gusar. Sebuah jawaban palsu, yang sebenarnya aku tau kebenarannya.
Dan bunyi bell tadi, telah menyelamatkanku - keluar dari tekanan rasa yang sebenarnya hampir membuncah dan tak dapat ku redam itu. Selamat! Aku menyeringai tak jelas. Entah senang entah sedih.
***
"Kalian tau tidak, mengapa aku tidak bisa jujur dengan Budi atau bahkan dengan diriku sendiri?"
Jawabannya sebenarnya sangat sederhana. Aku sebenarnya tidak percaya diri saja. Aku merasa tak sepadan dengan Budi. Budi itu dari kalangan keluarga berada. Sedangkan aku? aku berasal dari keluarga sederhana. Perbedaaan itulah point sebenarnya. Penolakan-penolakanku hanyalah balutan rasa tidak percaya diriku saja padanya. Dan rule "friend is friend" sebenarnya juga bukan harga mati. Rule itu sengaja kubuat untuk membentengi diriku saja, sehingga orang lain tidak bisa melihat isi di balik benteng tersebut.
Apa? Seperti sinetron?! Tapi itulah yang terjadi. Aku tak siap dengan segala perbedaan.
***
Semester ke dua kelas satu esema.
"Cha, mau ya jadi pacarku!" Kata Budi pelan hampir seperti berbisik. Aku tersenyum nakal, ujung ekor mataku menangkap tatapan matanya padaku.
"Mau gak ya?!" Jawabku tidak serius bermain dengan kata-kataku.
Aku berbalik menatap ke arahnya. Oh my God ... mata itu! Suer! Aku tak tahan dengan mata itu. Hampir saja aku ingin memeluknya. Beruntung aku masih tersadar penuh.
"Cha! Aku serius. Aku tidak main-main." Kata Budi tanpa memberiku kesempatan untuk memalingkan mataku dari tatapannya. Aku tergugup. Kugigit ujung bibirku - sakit. Jantung ini berdetak lebih kencang seperti maling di kejar polisi. Cape dan sesak terasa.
"Gak, Bud!" Untuk kali ini jawabanku tampak seperti meyakinkan.
Budi menatapku dalam ... seperti ingin melihat kedalaman hatiku yang sesungguhnya.
"Terluka kah Ia dengan jawabanku? Apa ada luka di matanya?" pertanyaan-pertanyaan tersebut segera bersliweran di kepalaku.
"Oke! Jika itu sudah menjadi keputusanmu. Aku mau nenerima cintanya Tuti, tapi kamu tau isi hatiku yang sesungguhnya!" Katanya serius.
Aku mematung. Tak menyangka Budi akan mengatakan hal di luar dugaanku. Berpacaran dengan Tuti?! Apa tidak salah kupingku mendengar protes hatiku. Huh! Dia pikir aku tong sampah apa? Yang mau menerimanya meski aku tau isi hatinya yang sesungguhnya! Gak layaw! Aku ini bukan tong sampah tapi aku ini apa yaa ??? tanya hatiku galau.
Jawaban sudah kuberikan untuk kesekian kalinya pada Budi. Jawaban yang sebenarnya menghancurkan bukan hanya hatinya tetapi hatiku juga, tapi apa boleh buat - itu mungkin yang terbaik. Parah banget sih kamu Cha!
***
Tuti Astuti. Ini adalah pacar Budi setelah Lita. Tapi sebentar ... ! Kalian tau tidak, Tuti ini adalah sahabat kental Lita sejak esempe. Mereka bersahabat hingga persahabatan itu akhirnya harus hancur berantakan ketika Tuti mulai mendekati Budi. Bahkan mereka berdua menjadi seperti musuh bebuyutan ketika kelak Tuti berpacaran dengan Budi.
Sepengetahuanku Tuti bukanlah penyebab putusnya Lita dan Budi, meski sejak awal Tuti memang menyukai Budi, tetapi Tuti bukan penyebab putusnya hubungan mereka. Dan kalian juga pasti tau dong pada siapa hati Budi sebenarnya terbidik. Apaa? Padaku?! Hehe geer banget ya aku ini!
Sejak penolakanku yang terakhir, akhirnya Budi benar-benar berpacaran dengan Tuti. Semua orang tau. Tidak hanya teman satu angkatan, bahkan guru-guru hingga penjaga sekolah pun tau. Lalat yang biasa nemplok di bakwan bikinannya mpo Rini aja pastinya juga tau. Siapa sih yang gak kenal Budi? Secara tongkrongannya saja sudah pake mobil. Padahal seharusnya Ia belum boleh bawa mobil kan belum punya SIM. Yaa, namanya juga orang kaya!
Terakhir yang membuat mereka terkenal justru karena hadiah ulang tahun Budi dari Ortunya berupa mobil sedan keluaran teranyar untuk saat itu. Dan penampilan Tuti sejak berpacaran dengan Budi pun berubah seratus delapan puluh derajat. Ia yang dulunya agak emmm sorry sedikit dekil sekarang berubah bak puteri impian. Kulitnya yang dulu agak coklat gelap sekarang putih. Wajahnya bening dan licin si Lalat saja terpeleset jika ingin bersandar sejenak di jidat Tuti. Sloor ngedebuk lalat terjatuh saking licinnya jidat Tuti. Perubahannya sungguh besar banget! Aku hanya bisa mengamati. Tapi suer Tuti sekarang cantik mengalahkan Lita sahabat esempenya itu. Tapi aku bersyukur sekali, meski aku suka sama Budi tidak berarti aku membenci mereka. Mereka itu tetap teman-temanku apapun yang terjadi. Malah aku sering mendapati Budi lagi mencuri pandang ke arahku di saat Ia bersama Tuti. Dalam hati aku hanya tertawa - metertawakan diriku dan kemunafikanku.
***
Pagi itu aku datang lebih awal dari biasanya. Aku ingin agak santai saja di sekolah dan tidak terburu-buru karena terlambat. Aku berdiri tepat di depan perpustakaan lantai II. Dari sini pandagan mata bisa langsung ke luar halaman depan sekolah dan tepat di bawahnya akan tampak perparkiran sekolah. Pandanganku mengitari pohon-pohon yang masih belum begitu besar, maklum baru di tanam. Meski hijaunya belum seberapa tapi aku cukup bisa menikmatinya. Matahari bersinar cukup cerah. Pagi yang indah bisikku bahagia. Tak lama berselang sebuah mobil masuk ke parkiran. Aku masih berdiri di tempatku tadi dan masih juga mataku memandang sekitar. Mobil berhenti tepat di parkiran paling kanan. Seorang cewek cantik keluar dari sebelah kiri mobil tersebut. Tuti batinku berbisik. Ia kemudian masih berdiri di depan pintu mobil. Tak lama dari sebelah pintu kanan mobil muncul Budi. Ia keluar dan tanpa sengaja Ia mendongakkan wajahnya ke atas tepat ke arah di mana aku berdiri. Tanpa sadar aku menatapnya. Budipun menatapku dalam. Dan aku melihat mata itu ... ! Mata yang sama ketika Ia mengatakan sayang padaku. # mewek
Aku terpaku. Mataku tak berkedip. Takjub! Terpesona oleh matanya. Dan keterpakuanku itu sama persis ketika aku terpaku di Orchard Road Singapore.
*** The End ***
Note : Jadi intinya ... ? Ya, gak ada intinya hehe.
"Hello Budi apa kabar? Dah punya anak berapa sekarang? Masih inget denganku?"
My
Note : Kenangan akan terasa so sweet meski ketika kejadian so bitter haha :)
Salam,
Auntie 'eMDi' Dazzling
Auntie 'eMDi' Dazzling
Wah kok slalu ditolak yaaah..kasian..
BalasHapusjadinya kawin sama Tuti deh si cantik karbitan salon wekeke
Hihi Ronal ...!
HapusKlo soal kawinnya dengan siapa aku gak tau tuh. Kan akhirnya kita berpisah pas lulusan :)
Huehehe
BalasHapusTragis dah ah.. Tapi kebayang juga sih endingnya pas mereka udah menikah tapi si "aku" ini masih sayang.
Mungkin kalo si "aku" ini yang nerima Budi, mereka berdua yg akan keluar mobil berbarengan
Kan "aku"nya emang aku zra, dan itu cuma cerita masa lalu jaman jebot aku masih pake abu-abu putih hehe :)
Hapuswah malu2 kucing ya untuk menerima :)
BalasHapusMalu-maluin Lid itu namanya hehe
HapusKenapa nggak terus terang aja sih kak. Rasa gengsi mengalahkan segalanya. Kalau kamu bertanya seperti itu pada ending-nya. Berarti si budi sudah menikah dengan orang lain dong.
BalasHapussaya suka ceritanya.
Emm kan dah aku bilang "aku gak percaya diri,secara Ia orang kokay lah aku orang tak punya."
HapusIa aku lost contact dgnnya sejak lulusan sekolah jdi aku gak tau kbr dia sekarang gitu.
jiakaka koq kaya cerita akuh siiih xixi walaupun dulu saya sempet sayang sama seseorang tapi akhirnya pilihan jatuh sama mamamnya arfa :D sampai sekrang istriku selalu memantaunya secara saingan jiaakakak.. kalau akuh sudah mulai cuwk.. walau sama2 udah nikah dan punya anak juga :D
BalasHapusBerarti waktu baca bisa ngerasain ya rasa yang pernah kurasakan doeloe hehe ...!
HapusSalam ya buat mamanya Arfa, bilang gini : Aa mah sayang sama mama doang, yang lain mah cuma sekedar cerita masa lalu hehe :)
ahai! kisah nyata banget!!!! bhahaha... tapi elu membalutnya dengan manis bak karya cerpen legendaris! Gue suka Banget! emang ngalir ea.. kalo nulisin pengalaman pribadi, daripada kita ngarang geje-geje gitooo huhuhu
BalasHapushehe kan itu pengalaman masa sekolah. Rasanya dulu pastinya so bad, tapi sekarang kok so sweet gitu loh kalo di kenang :)
HapusBagaimana kalo Budi itu jodoh mbak? :O
BalasHapusHehe gak lah dwee, kan itu jaman dulu banget. Sedangkan sekarang pastinya dia dah punya keluarga juga sama denganku say :)
HapusKayak kisah di film aja nih mba :)
BalasHapusHihi namanya juga cerita masa abu-abu putih ... !
Hapuskalo saya jadi cewek...saya nggak bakalan mau menerimanya,,,abis pake ngancam..kalo kamu nggak mau terima saya akan terima si Lita, kira2 cowok begini bagusnya diapakan ya....tak tahulah....karena saya buka cewek.....salam :-)
BalasHapusAku juga gak tau, apakah itu ancaman atau bukan. Tapi aku tau persis Dia dari awal masuk sekolah dah sukanya sama aku dan dia tetap perhatian sama aku meski aku bukan pacarnya hehe :)
HapusHahahaha.... itu si Budi udah macam penjual di Glodok.... Beli-beli-beli-beli, beli tiga, gratis satu... Hahaha.. Eh keceplosan, kebiasaan di Glodok dibawa2... :D
BalasHapusLucu cerpennya....
BalasHapus@nuel sebenernya itu true story say cuma aku buat seperti cerita legenda aja soalnya hihi malu juga nyeritainnya :)
Hapusmakasih ya :)
BalasHapus